Solusi Jangka Panjang Bagi BPJS Kesehatan

Solusi Jangka Panjang Bagi BPJS Kesehatan

BADAN Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tengah berada dalam situasi sulit. Program yang luar biasa ini sedang menghadapi ujian terbesarnya. Terutama terkait menutup klaim dari fasilitas kesehatan di berbagai tingkatan yang bekerja sama dengan BPJS.

Defisit terjadi terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari hanya Rp6 triliun di 2015, terjadi peningkatan di tahun 2018 hingga Rp16,5 triliun. Injeksi dana yang diharapkan dari pemerintah, memperberat beban yang harus ditanggung disamping pembangunan infrastruktur yang tengah dicanangkan saat ini. 

Terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan untuk mengatasi permasalahan yang kompleks ini. Namun tentu saja, tidak ada yang instan, semua harus berproses. Tidak bisa semua problematika BPJS, diberikan jalan keluar dengan bail out dari pemerintah. BPJS harus mandiri dan kuat karena badan ini adalah harapan dan masa depan kesehatan seluruh Rakyat Indonesia. Bahkan sudah dibuatkan Undang-undang tersendiri untuk menjamin kinerja BPJS Kesehatan.

Selama ini, orientasi hampir seluruh Fasilitas Kesehatan di Indonesia selalu terkonsentrasi pada kuratif (pengobatan) dan rehabilitasi. Sementara pembiayaan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kuratif atau pengobatan sangatlah tinggi, banyak yang bermain di dalamnya, perusahaan obat, perusahaan alat kesehatan, biaya promosi obat yang dibungkus dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan alat-alat kesehatan habis pakai yang keseluruhannya menghabiskan sebagian besar pembiayaan pasien yang harus ditanggung oleh BPJS.

Sudah tidak banyak didengar lagi, penguatan pemerintah maupun BPJS untuk promosi pencegahan penyakit yang gencar didengungkan di masyarakat. Konsentrasi BPJS terlalu berfokus pada pengobatan dan rehabilitasi yang tidak efisien secara biaya. Kementerian Kesehatan dan BPJS harus memperkuat fokus di bidang promosi kesehatan dan pencegahan (preventif). Kedua upaya ini jauh lebih murah dan mudah dibandingkan pengobatan dan tata laksana saat sudah terkena penyakit.

Sebagai salah satu contoh adalah kanker leher rahim, penyebab mortalitas wanita nomor dua akibat kanker di Indonesia. Angkanya dari tahun ke tahun tidak banyak berubah. Padahal apabila dilakukan pencegahan/skrining dengan pemeriksaan Pap Smear yang berkesinambungan, angka kesakitan (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat kanker leher rahim dapat menurun secara signifikan.

Upaya pencegahan ini justru dilakukan oleh para provider vaksin HPV, yang sebenarnya tidak seefektif pap smear dan mahal. Yang dilakukan sebagai upaya di Puskesmas hanyalah IVA (Inspeculo Visual Asam Asetat) yang akurasinya rendah dan tidak begitu dapat diandalkan, hanya karena IVA sangat murah. 

Kanker leher rahim juga pernah menempati posisi kedua sebagai penyebab kematian akibat kanker pada wanita di Singapura selama beberapa tahun.  Dalam menghadapi hal ini, dilakukan skrining massal untuk Pap Smear dan hasilnya peringkat kanker leher rahim di negara tersebut turun hingga peringkat ke delapan.

Hal yang sama dapat dilakukan pada penyakit-penyakit degeneratif lainnya, seperti stroke, diabetes, penyakit jantung dan sebagainya. Dengan pola-pola pencegahan yang bervariasi.

Program promotif dan preventif bukan hal baru dalam program-program di Kementerian Kesehatan, meskipun demikian, secara de facto informasi mengenai kesehatan dan pentingnya pencegahan dalam berbagai penanganan penyakit belum diterima secara luas dan merata di Indonesia, bahkan di DKI Jakarta.

Upaya promosi dan pencegahan penyakit hanya diemban terutama oleh Puskesmas dan Posyandu sebagai garda terdepan dalam Pelayanan Kesehatan. Kenyataannya seorang dokter Puskesmas, yang dianggap paling mengetahui dan mampu menyebarluaskan informasi kesehatan di masyarakat tempatnya bernaung, sudah sangat sibuk dengan jumlah pasien yang rata-rata jumlahnya di atas 100 setiap harinya. Minat untuk melakukan upaya promotif dan preventif tidak didukung dari segi financial penghasilan serta bobot dan porsi kerja.

Upaya promotif dan preventif di masing-masing Dinas Kesehatan tidak terasa gaungnya di masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi, kebanyakan upaya promotif dan preventif justru digunakan sebagian elemen masyarakat untuk menjual produk-produk alternatif nonmedis. Padahal sejatinya, apabila promotif dan preventif diperkuat, maka pembiayaan APBN untuk kesehatan, dalam hal ini BPJS bisa sangat terpangkas dan jauh lebih efisien.

Sebenarnya ini adalah solusi bagi pembiayaan BPJS Kesehatan di masa depan. Ada target-target yang dapat dicapai, misalnya saja, di saat masyarakat tidak di vaksin tertentu, maka apabila mendapat penyakit yang berkaitan dengan vaksin tersebut, BPJS tidak berkewajiban untuk menanggungnya. Demikian juga pada masyarakat yang tidakpernahmelakukanskriningseperti Pap Smear, bisa saja jika terkena kanker serviks tidak diberi pertanggungan oleh BPJS.

Pemerintah dan BPJS harus lebih fokus pada promosi dan preventif, sehingga di masa depan, pembiayaan BPJS tidak selalu defisit. Dan BPJS tetap menjadi harapan utama masyarakat Indonesia.

* dr. Reza Aditya Digambiro, M.Kes, M.Ked (PA), Sp.PA, praktisi kesehatan dan staf pengajar Fakultas Kedokteran UniversitasTrisakti.

 

 


Read more...

0 Response to "Solusi Jangka Panjang Bagi BPJS Kesehatan"

Posting Komentar