INILAHCOM, Jakarta - Penyakit ginjal kronik (PGK) tidak hanya menimbulkan beban bagi pasien dan keluarganya, tapi juga jadi beban secara ekonomi dan bagi pemerintah.
Menurut Dr. dr. Aida Lidya, Sp.PD-KGEH, Ketua Pernefri Pelayanan HD, CAPD dan transplantasi sebagai pelayanan yang terintegrasi, pada 2015, PGK naik ke peringkat dua sebagai beban ekonomi (sebelumnya peringkat tiga). Lebih tinggi daripada kanker, walaupun masih jauh lebih rendah dibandingkan penyakit jantung.
"Prevalensi dan insiden PGK sedikit berbeda dari beberapa kepustakaan. Berdasarkan studi kohort dari beberapa negara di Asia, prevalensi PGK di Indonesia sebagai berikut: stadium I (5,8 persen), stadium II (7 persen), IIII-IV (5,2 persen) . Lebih tinggi daripada Korea, Vietnam dan Singapura," papar Aida di kantor Kemenkes RI, Jakarta, Kamis (08/03/2018).
Pasien yang sudah masuk stadium V memiliki tiga pilihan, hemodialisis (HD), continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan transplantasi ginjal. HD masih menempati porsi dialisis terbanyak 82,4 persen. CAPD 12,8 persen, dan tranplantasi 2,6 persen.
Pembiayaan HD dan CAPD ditanggung oleh JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), tapi biaya yang ditanggung berbeda antara RS tipe A, B, C, dan D. Pasien yang menjalani HD di tipe C dan D tidak bisa mendapat pemenuhan kebutuhan standar, misalnya tidak mendapat eritroprotein.
"Unit pelayanan ginjal harusnya tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai pelayanan yang terintegrasi. Tidak berarti pasien HD selamanya akan menjalani HD, atau CAPD selamanya CAPD. Harus bisa menunjang satu sama lain," tambahnya.
Sepanjang 2012-2015 ada peningkatan pasien yang menjalani CAPD, tapi tidak signifikan. Lama CAPD terlama biasanya 2-3 tahun, setelah itu makin turun. Memang CAPD paling baik dalam 2-3 tahun pertama karena bisa menjaga residual renal function. Namun efek ini makin lama makin turun karena mungkin terjadi infeksi.(tka)
Read more...
0 Response to "Penyakit Ginjal Kronik Lebih Besar dari Kanker"
Posting Komentar