INILAHCOM, Jakarta - Salah satu kondisi yang dapat diangkat dan telaah lebih lanjut terkait 4 tahun implementasi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan Permasalahan pelayanan kesehatan terutama bagi pasien penyakit kronis.
Hal ini misalnya adalah bagi para pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) tahap akhir yang harus menjalani perawatan dialisis.
Pada salah satu sesi plenary InaHEA juga dibahas melalui sebuah diskusi kebijakan dengan topik A comprehensive view toward ESRD cost and modality. Seperti kita tahu bahwa pasien dialisis harus menjalani prosedur ini sepanjang hidupnya, sebagai bentuk terapi pengganti ginjal yang sudah tidak dapat berfungsi secara normal.
Artinya, pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan tidak dapat menutup mata terhadap dampak ekonomi dan sosial dari populasi ini baik jangka pendek dan jangka panjang. Biaya dialisis yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan pada 2 tahun terakhir 2016 dan 2017 adalah 3,9 T dan melonjak ke angka 4,6 T, menempati posisi kedua tertinggi dari biaya penyakit yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Jika dibedah lebih lanjut pada tahun 2017 berdasarkan jumlah kunjungan 4.200.678 dan jumlah pasien dialisis berdasarkan nomor kartu kepesertaan yaitu 73.737 pasien, didapatkan rata-rata kunjungan adalah 56 kali per tahun. Angka ini hanya 58 persen dari idealnya jumlah kunjungan 96 kali setahun (dengan asumsi 8 kali kunjungan per bulan).
Artinya, utilisasi hemodialisa masih belum optimal, apakah faktor kepatuhan pasien, faktor pasien meninggal dunia, atau adanya hambatan akses pasien untuk mendapatkan perawatan, seperti proses rujukan berjenjang yang berbelit, atau minimnya jumlah fasilitas hemodialisis.
Kenyataan yang terjadi dengan tingginya defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan harus disoroti dan ditindaklanjuti secara serius. Biaya penyakit katastropik yang cukup tinggi seperti contohnya dialisis tidak dapat diabaikan.
"Kami mengapresiasi berjalannya program JKN, namun masih banyak yang perlu dibenahi khususnya kemudahan bagi pasien dialisis mendapatkan layanan yang berkualitas baik melalui hemodialisis maupun CAPD," kata Ketua Perhimpunan Nefrologi lndonesia, dr. Aida Lydia, PhD., Sp. PD-KGH, di acara InaHEA, Jakarta, Rabu, (31/10/2018).
CAPD bisa menjadi salah satu alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien GGK dan sekaligus menjadi solusi pengendalian biaya kesehatan negara. Saat ini sangat terbatas penyedia CAPD di Indonesia. Ditambah dengan belum siapnya sistem distribusi dan rendahnya edukasi baik kepada pasien dan dokter menyebabkan pertumbuhan jumlah pasien CAPD dari tahun ke tahun sangat lambat.
"Saat ini kami sedang menjalankan sebuah uji coba peningkatan cakupan pelayanan CAPD di Jawa Barat, yang hasilnya diharapkan di akhir tahun 2018 dan dapat menjadi sebuah rujukan untuk kebijakan nasional. Program yang kami inisiasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pengendalian biaya hemodialisa. Target kami adalah meningkatkan jumlah pasien CAPD dari 3 persen menjadi 30 persen,” demikian disampaikan oleh Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kemenkes dr. Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH.
Studi dari Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) Kemenkes RI dan PKEKK FKM UI juga menguatkan fakta bahwa CAPD lebih efektif dari segi biaya dibanding HD.
"Fakta bahwa CAPD lebih cost efficient dibandingkan HD, dan juga meningkatkan kualitas hidup pasien, pada kenyataannya jumlah pasien CAPD hanya 3 persen dari total pasien CAPD, dan 95 persennya menjalani HD, di mana letak permasalahannya," papar Prof Budi Hidayat, SKM., MPPM., PhD, Ketua KPEKK FKM UI. (tka)
Read more...
0 Response to "Potret Implementasi JKN 4 Tahun Terakhir"
Posting Komentar