Promotif dan Preventif Ringankan Beban BPJS

Promotif dan Preventif Ringankan Beban BPJS

PELAYANAN Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan boleh jadi saat ini sedang ‘berdarah darah’ menghadapi klaim yang luar biasa banyaknya dari setiap Rumah Sakit, Klinik, Puskesmas dan Fasilitas Kesehatan pengampu BPJS.

Saat ini terjadi defisit (Bahasa Humas BPJS : mismatch) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mismatch ini sebesar Rp3,3 triliun di 2014 dan mencapai Rp6 triliun di 2015. Dalam mengatasi masalah ini, BPJS berusaha menaikan (baca: menyesuaikan) iuran BPJS disamping suntikan dana pemerintah. Hal yang sudah tentu akan semakin memperberat beban masyarakat di tengah-tengah himpitan ekonomi yang cukup sulit dewasa ini.

Rumah Sakit sendiri selaku provider harus “memutar otak” agar klaim pasien-pasiennya dapat ditanggung oleh BPJS, sementara disisi lain BPJS juga “memutar otak” agar seimbang antara klaim yang diminta Fasilitas Kesehatan dengan pembiayaan yang ada.

Hal inilah yang kerap memicu terjadinya konflik antara rumah sakit-rumah sakit yang notabene memiliki tradisi tersendiri yang telah berlangsung lama dalam menangani para pasiennya dengan pihak BPJS yang memiliki sistem menyerupai asuransi dalam penanggungan klaim-klaimnya. Sudah tidak terhitung para verifikator yang bersitegang dengan provider di berbagai rumah sakit dalam permasalahan klaim BPJS ini.

Sebenarnya permasalahan ini bisa pelan-pelan dicari solusinya, namun tidak berupa jawaban instan atas masalah-masalah yang berkembang belakangan ini, terutama sejak disahkannya Undang-Undang BPJS. Selama ini, orientasi problematika kesehatan di Indonesia hampir selalu berkutat pada sisi kuratif dan rehabilitatif atau pengobatan dan pasca-pengobatan.

Biaya kuratif atau pengobatan sangat tinggi, apalagi tidak semua obat berupa generik yang hanya berisi bahan dasar saja, tanpa embel-embel biaya promosi obat dan iklan obat. Belum lagi alat-alat kesehatan baik habis pakai maupun tidak habis pakai yang menghabiskan sebagian besar pembiayaan pasien yang harus ditanggung baik oleh Rumah Sakit maupun BPJS.

Kembali lagi diingatkan, bahwa Pemerintah (Kementerian Kesehatan) harus memperkuat platformnya dan membuat fokus baru yang berporsi di bidang promosi kesehatan dan pencegahan (preventif). Berdasarkan pemikiran dimana, upaya promotif dan preventif jauh lebih murah dan mudah dibandingkan penatalaksanaan ketika sudah mengalami sakit.

Sebut saja, kanker leher rahim, pembunuh kaum wanita nomor dua saat ini di Indonesia. Penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan pemeriksaan Pap Smear secara teratur dan berkesinambungan. Upaya pencegahan ini diperkuat dan ditambah dengan peningkatan informasi yang luas di masyarakat.

Singapura sebagai negara yang cukup makmur di kawasan Asia Tenggara, beberapa tahun juga memiliki angka kejadian yang sama untuk kanker leher rahim yang menempati posisi tertinggi kedua sebagai pembunuh terbanyak pada kaum wanita. Namun menghadapi fakta ini, pemerintah Singapura tidak tinggal diam, dilakukan skrining massal untuk Pap Smear di seluruh pelosok negara tersebut, alhasil saat ini peringkat kanker leher rahim di negara tersebut turun hingga peringkat ke delapan.    

Memang benar, program promotif dan preventif bukan barang baru di Kementerian Kesehatan, kedua hal ini tetap menjadi perhatian utama hingga saat ini, akan tetapi fakta yang berbicara. Informasi mengenai kesehatan dan pentingnya pencegahan dalam berbagai penanganan penyakit belum diterima secara luas dan merata di Indonesia, bahkan di DKI Jakarta sendiri selaku Ibukota Negara.

Selama ini tugas promotif dan preventif utamanya dibebankan kepada Puskesmas dan Posyandu sebagai garda terdepan dalam Pelayanan Kesehatan. Namun seorang dokter Puskesmas saja, yang paling mengetahui dan seyogyanya mampu menyebarluaskan informasi kesehatan di masyarakat tempatnya bernaung, sudah sangat disibukkan dengan jumlah pasien sehari-hari yang membludak. Kurangnya tenaga medis dan penghasilan yang tidak banyak, membuat passion untuk promotif dan preventif tidak lagi menarik bagi banyak praktisi kesehatan.

Jargon-jargon dan pembelaan Kementerian Kesehatan yang menyatakan promotif dan preventif sudah diupayakan dan bahkan memiliki meja tersendiri di masing-masing kantor Dinas Kesehatan tidak terasa gaungnya di masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi, kebanyakan upaya promotif dan preventif justru digunakan sebagian elemen masyarakat untuk menjual produk-produk alternatif non medis. Padahal sejatinya, apabila promotif dan preventif diperkuat, maka pembiayaan APBN untuk kesehatan, dalam hal ini BPJS bisa sangat terpangkas dan jauh lebih efisien.

Ke depannya, perhatian pemerintah harus lebih fokus pada kedua upaya ini, sehingga masyarakat yang sehat sebagai tulang punggung bangsa bisa membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.

* dr Reza Aditya Digambiro, M.Kes, M.Ked (PA), Sp.PA, Pemerhati Kesehatan, Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, dan Kepala Pap Smear Center RS Muhammadiyah Ibnusina, DKI Jakarta.


Read more...

Related Posts :

0 Response to "Promotif dan Preventif Ringankan Beban BPJS"

Posting Komentar