Kebiri dalam Etika Kedokteran, Hukuman/Pengobatan?

Kebiri dalam Etika Kedokteran, Hukuman/Pengobatan?

PELAKU pemerkosaan di beberapa negara sudah divonis dengan hukuman kastrasi atau pengekebirian. Di Indonesia wacana hukuman ini kian berkembang mengingat makin merajalelanya kejahatan seksual akhir-akhir ini.

Kastrasi atau kebiri dapat dilakukan dengan tindakan operasi maupun secara kimiawi. Kastrasi kimiawi diberikan melalui injeksi depo provera (medroxyprogesterone acetate), sejenis obat hormonal yang biasa digunakan dalam Program Keluarga Berencana di Indionesia.

Tujuan kastrasi kimiawi ini adalah untuk menurunkan kadar testosteron dalam tubuh. Meskipun demikian, metode ini tidaklah memberikan efek yang bersifat permanen namun terbukti efektif mengendalikan kebutuhan biologis yang membentuk fantasi seksual dari si pemerkosa.

Kastrasi atau kebiri yang dilakukan dengan pembedahan berupa pengangkatan testis dari terpidana (orchiectomy). Beberapa penggiat Hak Azasi manusia menyatakan tindakan ini adalah kejam dan tidak berperikemanusiaan. Meskipun pengangkatan testis, yang merupakan penghasil 95% testosteron, telah terbukti efektif menurunkan keinginan seksual dari para pelaku pemerkosaan, prosedur ini masih kontroversial dan masih diperdebatkan secara etika.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah , apakah hal ini sesuai dengan etika? Terdapat banyak diskusi dan perdebatan mengenai kastrasi ini di banyak negara yang telah menerapkannya. American Civil Liberties Union, menyatakan bahwa kastrasi baik kimiawi ataupun pembedahan adalah tidak manusiawi. Menurut mereka prosedur ini bertentangan dengan Hak Azasi Manusia dan tidak efektif, karena pada kastrasi kimiawi, begitu pengobatan dihentikan maka kadar testosteron akan kembali normal.

Sementara The European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading treatment or Punishment (CPT) dalam laporannya menyebutkan bahwa kastrasi dengan pembedahan telah menurunkan derajat pengobatan ke titik yang rendah dan oleh karenanya harus segera dihentikan.

Prof Dr James Cantor, Guru Besar Ilmu Psikologi Universitas Toronto, mengatakan, kastrasi kimiawi adalah opsi terapi bagi para penderita pedofilia. “Kastrasi kimiawi hanyalah sebutan lain untuk tindakan yang sebenarnya bertujuan mengurangi nafsu seksual khususnya pada pedofilia,” ujarnya.

Hal ini perlu disebutkan, karena pedofilia berada dalam bagian gangguan seksual dan identitas jender yang memerlukan pengobatan (Pedoman American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical manual of mental Disorders).

Ketika korea Selatan memberlakukan kastrasi kimiawi dalam undang-undangnya di 2011, banyak ahli medis yang berpendapat bahwa kastrasi kimiawi ini sebenarnya berada ditenah-tengah pengobatan dan hukuman berdasarkan undang-undang. Bahkan hingga saat ini, prosedur ini masih merupakan isu yang problematis bagi Etika Kedokteran (Journal of Korean Medical Science).

Penulis berpendapat, kastrasi kimiawi lebih bermanfaat terutama dalam perlindungan bagi anak-anak Indonesia di masa depan. Perlunya suatu kepastian hukum dan penegakan hukum yang kuat, sehingga kastrasi tidak dianggap sebagai suatu beban bagi Institusi Kedokteran dalam menegakkan Etika, namun lebih sebagai jaminan dan peringatan bagi para pelaku kejahatan seksual agar tidak berbuat diluar norma-norma kesusliaan masyarakat.

Akan tetapi segala upaya ini akan jauh lebih baik apabila dibarengi dengan pendidikan seksual, religi dan hukum masyarakat sejak dini. Penerapan dan pengejawantahan ilmu mengenai norma masyarakat juga hendaknya dilakukan dengan sinergi antara sekolah dan orang tua. Sehingga metode kastrasi yang terkesan tidak manusiawi ini perlahan-lahan dapat digeser dan diminimalisir penerapannya.


* dr. Reza Aditya Digambiro, M.Kes, M.Ked (PA), Sp.PA, Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.


Read more...

Related Posts :

0 Response to "Kebiri dalam Etika Kedokteran, Hukuman/Pengobatan?"

Posting Komentar